Tokoh Pahlawan wanita Indonesia
- Raden Ajeng Kartini
Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.
Upaya dari puteri seorang Bupati Jepara ini telah membuka penglihatan kaumnya di berbagai daerah lainnya. Sejak itu sekolah-sekolah wanita lahir dan bertumbuh di berbagai pelosok negeri. Wanita Indonesia pun telah lahir menjadi manusia seutuhnya.
Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.
Kartini hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S. (Europese Lagere School) atau tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di tempat kelahirannya dimana setelah seorang wanita menamatkan sekolah di tingkat sekolah dasar, gadis tersebut harus menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya untuk menikah.
2. Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap. Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1850, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Ketika Lampadang, tanah kelahirannya, diduduki Belanda pada bulan Desember 1875, Cut Nyak Dien terpaksa mengungsi dan berpisah dengan ayah serta suaminya yang masih melanjutkan perjuangan. Perpisahan dengan sang suami, Teuku Ibrahim Lamnga, yang dianggap sementara itu ternyata menjadi perpisahan untuk selamanya. Cut Nyak Dien yang menikah ketika masih berusia muda, begitu cepat sudah ditinggal mati sang suami yang gugur dalam pertempuran dengan pasukan Belanda di Gle Tarum bulan Juni 1878. Cut Nyak Dien diputuskan mejadi Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 2 Mei 1964 oleh Presiden Soekarno.
3. Cut Nyak Meutia
Cut Nyak Meutia, wanita asal Nangroe Aceh Darussalam, yang terus berjuang melawan Belanda hingga tewas diterjang tiga peluru di tubuhnya. Wanita kelahiran Perlak, Aceh, tahun 1870, ini adalah seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang hingga titik darah penghabisan tetap memegang prinsip tak akan mau tunduk kepada kolonial.
Sebelum Cut Nyak Meutia lahir, pasukan Belanda sudah menduduki daerah Aceh yang digelari serambi Mekkah tersebut. Perlakuan Belanda yang semena-mena dengan berbagai pemaksaan dan penyiksaan akhirnya menimbulkan perlawanan dari rakyat. Tiga tahun sebelum perang Aceh-Belanda meletus, ketika itulah Cut Nyak Meutia dilahirkan. Suasana perang pada saat kelahiran dan perkembangannya itu, di kemudian hari sangat memengaruhi perjalanan hidupnya.
Perang terhadap pendudukan Belanda terus berkobar seakan tidak pernah berhenti. Cut Nyak Meutia bersama suaminya Teuku Cik Tunon langsung memimpin perang di daerah Pasai. Perang yang berlangsung sekitar tahun 1900-an itu telah banyak memakan korban baik dari pihak pejuang kemerdekaan maupun dari pihak Belanda.
Pasukan Belanda yang mempunyai persenjataan lebih lengkap memaksa pasukan pejuang kemerdekaan yang dipimpin pasangan suami istri itu melakukan taktik perang gerilya. Berkali-kali pasukan mereka berhasil mencegat patroli pasukan Belanda. Di lain waktu, mereka juga pernah menyerang langsung ke markas pasukan Belanda di Idie.
Bersama suaminya, tanpa kenal takut dia terus melakukan perlawanan. Namun naas bagi Teuku Cik Tunong, suaminya. Suatu hari di bulan Mei tahun 1905, Teuku Cik Tunong berhasil ditangkap pasukan Belanda. Ia kemudian dijatuhi hukuman tembak.
4. Raden Dewi Sartika
Dewi Sartika (Bandung, 4 Desember 1884 – Tasikmalaya, 11 September 1947), tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.
Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda.
Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.
5. Martha Christina Tiahahu
Martha Christina Tiahahu adalah seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut. Lahir pada tanggal 4 Januari 1800, anak dari Paulus Tiahahu, seorang kapitan dari negeri Abubu yang juga sebagai teman perjuangan dari Thomas Matulessy Kapitan Pattimura dalam perang Pattimura tahun 1817 melawan Belanda.
Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dari peperang dan jiwanya yang terkenal dengan pantang mundur. Penampilan dari pahlawan nasional ini selalu membuat rambutnya yang panjang terurai ke belakang dengan sehelai kain berang (merah) yang di lingkarkan di kepalannya. Ia tetap mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau Saparua, tidak mengenal siang dan malam ia selalu ada dan ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi semangat kepada kaum wanita yang ada pada saat itu agar ikut membantu kaum pria disetiap medan pertempuran dan berdampak pada Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang. Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan penghormatan militer jasadnya dilemparkan di Laut Banda menjelang tanggal 2 Januari 1818. Menghargai jasa dan pengorbanan, Martha Christina dikukuhkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.
6. Hajjah Rangkayo Rasuna Said
Rasuna Said lahir di Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 14 September1910 – (meninggal di Jakarta, 2 November 1965 pada umur 55 tahun) adalah salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia dan juga merupakan pahlawan nasional Indonesia. SepertiKartini, ia juga memperjuangkan adanya persamaan hak antara pria dan wanita. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
H.R. Rasuna Said adalah seorang muda yang mempunyai kemauan yang keras dan berpandangan luas. Awal perjuangan beliau dimulai dengan beraktivitas di Sarekat Rakyatsebagai Sekretaris cabang dan kemudian menjadi anggota Persatuan Muslim Indonesia(PERMI). Beliau sangat mahir dalam berpidato yang isinya mengecam secara tajam ketidak adilan pemerintah Belanda, sehingga beliau sempat ditangkap dan dipenjara pada tahun1932 di Semarang.
Pada masa pendudukan Jepang, beliau ikut serta sebagai pendiri organisasi pemuda Nippon Raya di Padang yang kemudian dibubarkan oleh Pemerintah Jepang. H.R. Rasuna Said duduk dalam Dewan Perwakilan Sumatera mewakili daerah Sumatera Barat setelah Proklamasi Kemerdekaan, diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung sejak 1959 sampai akhir hayat beliau.
Sumber Klik Disini!
0 komentar: